Geretak’ awalnya merupakan istilah
keseharian masyarakat Pontianak,
untuk menyebutkan jembatan yang
terbuat dari kayu.
Dalam lafal penyebutan, sama halnya seperti
pengistilahan ‘Pinggan’ untuk menyatakan
piring.
Sudu’ untuk menyebutkan sendok,
stockin’ untuk kaos kaki. Atau surok’ untuk tapok atau sembunyi.
Dari asal mula kata, konon istilah ‘geretak’ karena ketika berjalan melewati
jembatannya akan mengeluarkan suara gemeretak. Disebabkan kayu-kayu yang
bergerak dan bertemu sisi satu dengan lainnya. Cerita geretak’ ini erat
kaitannya dengan keberadaan parit-parit yang dulu menjadi bagian yang tak
terpisahkan di wilayah kota Pontianak.
Geretak’ dibangun di atas parit
sebagai jembatan. Dibuat agak lebih tinggi dari sisi tepinya, agar di bawahnya
sampan-sampan dapat lewat. Geretak’
dalam bentuk dan fungsi seperti ini terdapat di beberapa bagian sudut kota. Kita
pun mengenal adanya sebutan geretak satu, geretak dua, geretak tige, geretak
putih, geretak melaka dan lainnya.
Geretak satu berada di sisi paling
utara soengai kakap weg. Posisinya sekarang berada dekat pertemuan jalan Hasanudin dengan jalan Pa’ kasih dan jalan
Koyoso. Secara fisik, keberadaannya sekarang sudah tidak ada lagi, namun di
sekitaran daerah tersebut masih dikenal dengan sebutan geretak satu. Salah
satunya ditandai dengan keberadaan surau al Shulhu, tak jauh dari lampu merah. Dimana
pada papan nama surau kecil ini terdapat penamaan geretak satu. Kemudian ada geretak dua, di ujung jalan
merdeka sekarang. Dan geretak tige’ di
parit jawi, disisinya menjadi jalan Hasanudin
dan jalan H Rais A Rahman.
Selain itu juga kita pernah mengenal geretak
putih, di jalan Agus salim. Yang pada tahun 1971 masih berdiri kokoh. Sekarang keberadaan
geretak putih tersebut berada di depan ayam bakar gembira, di depannya tak
seberapa jauh dari klenteng tepat di mulut jalan Antasari. Ada juga geretak melaka, terkadang orang
menyebutnya demikian, karena terletak di jalan melaka. Jalan tersebut tak
seberapa jauh dari persimpangan parit besar weg (sekarang jalan di Agus
salim, kapiten weg (sekarang
jalan gajah mada), de steurs weg (sekarang jalan patimura). Sekarang,
diantara jalan menuju jalan gusti sulung Lelanang dengan jalan HOS
Cokroaminoto.
Pengucapan geretak’ kemudian menjadi
kata, istilah yang begitu melekat di masyakarat (melayu) Pontianak. Untuk
mengistilahkan jembatan yang terbuat dari kayu itu. Gemeretak… gemeretak… gemeretak…
begitu kira-kira bila kita berjalan di atasnya.
Dalam pada perkembangannya, ketika
banyak pendatang yang berdatangan ke kota pontianak penyebutan geretak
mengalami perubahan. Banyak kemudian yang menyebutnya menjadi ‘jembatan gertak’.
Padahal geretak itu adalah istilah jembatan kayu itu sendiri. Hal ini tentu
juga sangat beralasan. Karena‘ arti kata dalam pengucapan beberapa masyarakat
pendatang, kata ‘gertak’ dapat berarti
juga ‘ngegap’ atau menghardik. Sehingga kita mengenal istilah ‘gertak sambal’
yang dapat diartikan pura-pura mengeretak, atau pura-pura ngegap.
Perubahan pengistilahan itu tentu bukanlah hal yang tabu. Dan tentu berjalan
seiring sejalan dengan perkembangan masyarakat. Maka kemudian sekarang ini kita
pun mengenal dengan sebutan jembatan gertak untuk mengistilahkan jembatan yang
terbuat dari kayu tersebut.
Khusus untuk masyarakat di sekitaran Sungai
Kapuas Kecil memiliki cerita kelanjutan tersendiri akan keberadaan geretak’ ini.
Karena di tepian Sungai Kapuas Kecil juga banyak dibangun jembatan dari kayu,
biasanya dari kayu belian. Uniknya adalah ia memanjang di atas tepian sungai.
Berdiri kira-kira 1,5-2,5 meter di atas permukaan air sungai dengan lebar
sekitar 1 meter. Jembatan kayu ini berfungsi untuk menghubungkan rumah-rumah
yang terdapat disepanjang tepian sungai. Kemudian berkembang dan memanjang
menghubungkan rumah, gang dan
jalan disekitaran daerah tersebut.
Fenomena perkembangan jembatan
kayu di tepian sungai kapuas mengalami
perubahan yang cepat ketika terjadi booming looging di wilayah Kalimantan
barat. Yang mengakibatkan abrasi pada tepian sungai. Sehingga sungai menjadi
lebih lebar. Hal tersebut berpengaruh pada ruas bangunan yang awalnya masih
terdapat tanah kemudian tergerus menjadi tepian sungai. Menurut cerita orang
tua-tua, pernah pemerintah menyediakan kayu-kayu untuk dipergunakan seperlunya
oleh masyarakat membuat jembatan kayu tersebut. Itu terjadi pada tahun-tahun
1950an akhir dan beberapa saat setelahnya.
Kini jembatan kayu geretak’ di tepian
Sungai Kapuas Kecil ini memanjang dari gang belitung di jalan Adisucipto¸ gang
musa, gang teratai, gang mailamah. Seterusnya gang busri, gang mendawai, gang
Bansir, di jalan imam Bonjol. Melewati
jembatan kapuas I, daerah kelurahan
Benua Melayu Laut sampai ke dekat pelabuhan Seng Hie di. Begitu pula di sisi
seberangnya, geretak memanjang dari kawasan keraton memanjang sampai gang
harapan, gang famili di kelurahan Tambelan. Melewati jembatan kapuas I, lalu
memanjang sampai di gang karya baru dan jalan nusa karya yang masuk ke dalam
kelurahan Banjar Serasan.
Geretak
sepanjang Sungai Kapuas ini seyogyanya telah menjadi ciri khas Kota Pontianak
yang sulit ditemukan di daerah lain. Ia selain berfungsi sebagai sarana
penghubung, juga telah menjadi identitas yang turut membentuk aktifitas,
sejarah, keberadaan dan budaya masyarakat Pontianak mungkin, khususnya
masyarakat di tepian Sungai Kapuas Kecil. Dan tak dapat dipungkiri lagi, geretak sepanjang
Sungai Kapuas ini juga salah satu bagian aset terbesar yang di miliki kota dan
masyarakat Pontianak yang dapat mendukung program pariwisata Sungai Kapuas. [dimuat di
Borneo Tribune, Selasa, 6 November 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar