Lima orang
tetua tampak berdiri di depan beranda surau. Tak terdapat keterangan
kapan foto
ini dibuat. Yang jelas dalam foto terlihat
sisi bangunan surau
yang berbentuk
panggung. Sekitar 1-2 meter dari permukaan air sungai.
Keseluruhannya
terbuat dari kayu belian.
Tak nampak
adanya kubah pada bangunan surau ini.
Alkisah,
awalnya bangunan ini merupakan tempat
tinggal Syekh Umar bin Ahmad Al Ba-nashir.
Pada
awal-awal berdirinya kesultanan Pontianak, beliau merupakan Qadi, yang dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu agama serta kewibawaan
yang sangat tinggi.
Ditempat
ini, selain sebagai tempat tinggal beliau, juga menjadi tempat menggaji. Banyak orang yang belajar agama kepada beliau.
Makin lama, makin banyak yang datang menuntun ilmu agama. Dan pondok tempat
pengajian itu pun dijadikan surau dan tak muat lagi menampung. Ada yang
menyebutkan surau ini awalnya dinamakan surau batang lontar atau surau batang
hari.
Syekh
Umar kemudian mendirikan lagi bangunan di sebidang tanah yang agak ke belakang,
lebih ke darat, sedikit agak menjauhi tepian sungai sebagai tempat tinggalnya,.
Seiring dengan perjalanan waktu, lokasi ini pun semakin ramai dan kemudian menjadi
sebuah perkampungan.
Tak seberapa lama setelahnya Syekh Umar
bin Ahmad Al Ba-nashir wafat. Bukti otentik
yang menjelaskan wafatnya beliau adalah batu nisan berbentuk gada. Keberadaan
batu nisan ini awalnya diketahui dari tukang kayuh Syekh Umar yang bernama H
Abdul Rahim. Di batu nisan, tertulis tanggal
19 Jumadil Akhir 1227 H/Oktober 1773 Masehi. Ini berarti wafatnya Syekh Umar hanya berselang dua tahun
semenjak awal cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak.
Namun belum ada data serta sumber otentik yang
menyebutkan berapa usia Syekh Umar saat beliau wafat. Keberadaan batu nisan saat ini tersimpan di mesjid Baitul Makmur.
Keberadaan
surau ini kemudian diperbesar dan dikembangkan oleh putranya yang bernama Syaikh Ahmad
Bin Umar Bansir. Oleh masyarakat kemudian lebih
dikenal dengan Surau Bansir. Nama atau kata Bansir ini merupakan pelafalan dari
Ba-nashir; Banasher. Mulanya Surau Bansir hanya menjadi tempat
pengajian agama dan untuk tempat shalat lima waktu. Sedangkan untuk shalat Jumat,
jamaah masih dilakukan di Masjid Jami’ Sultan
Abdurrahman.
Dikemudian hari, sejarah mencatat sejak hari Senin, 5 Mei 1941 surau
Kampung Bansir berubah menjadi masjid. Dan pada saat pendudukan
balatentara Jepang, suasana menjadi kurang aman dan mencekam akibat
peperangan. Jika sebelumnya warga Bansir dan sekitarnya melaksanakan shalat Jumat di Masjid Jami’. Maka
mulai saat itu di Mesjid Kampong Bansir diperkenankan menyelenggarakan shalat
Jumat.
Waktu pun
berjalan, pada
sekitar tahun 1968-1969 sejarah mencatat nama Mesjid Kampong Bansir kemudian
diubah menjadi Masjid Baitul Makmur. Kini,
sebagai salah satu bangunan mesjid tua di Kota Pontianak. Mesjid Baitul Makmur Berada
di areal kurang lebih 180 meter persegi. Berada di tepi sungai Kapuas kecil,
tepatnya di jalan imam bonjol gang ramadhan, Bansir laut, Pontianak selatan.
Jika
kita memandang dari dalam mesjid kearah kanan, maka akan langsung terlihat
aktifitas di sungai Kapuas. Inilah yang membuat mesjid ini dan mesjid/surau lainnya
di tepian sungai Kapuas memiliki nuansa yang khas.
Sama
seperti semenjak awal. Mesjid Baitul Makmur terdiri atas satu lantai dan berbentuk panggung. Atap
masjid terbuat dari bahan kayu sirap. Namun karena bahan baku sirap yang makin
sulit di dapatkan, di beberapa bagiannya kini menggunakan genteng metal
berwarna warna hijau. Pada kaki-kaki atap terdapat ukiran dengan corak yang
khas, seperti ukiran kebanyakan rumah/ bangunan melayu dan diberi warna cat
hijau.
Di bagian
luar, terdapat anak tangga yang langsung menyambung ke teras. Satu berada di
sebelah kiri mesjid atau yang mengarah ke gg ramadhdan, berjumlah tiga anak tangga. Kini terbuat dari batu cor
dan diberi warna merah. Satunya lagi berada di bagian belakang. Berjumlah lima anak tangga dan masih menggunakan kayu
belian. Tak seberapa jauh di bawah
bagian anak tangga sebelah ini terdapat tempat mengambil air wudhu. Terbuat
dari tangga berundak dan langsung menuju tepian sungai.
Bagi anda
yang tidak tinggal di tepian sungai Kapuas ini, mengambil wudhu di tempat ini
akan memberi nuansa tersendiri. Apalagi
ketika kapal besar yang lewat, akan membuat
air berombak. Kita pun seolah akan terhempas. Penasaran? Sile’ suatu saat anda
datang ke mesjid kedua tertua di kota Pontianak ini. Setelah mengambil wudhu
dan dua rakaat tahiyal mesjid. Istirahat di beranda sejenak, dengan semilir
angin dari arah sungai. Mungkin anda akan terbayang bagaimana dulu syekh umar
al ba-nashir pertama kali datang ke tempat ini. Atau ramainya suasana pengajian
di surau ini dulunya.
Kembali ke
bagian-bagian mesjid. Teras mesjid hampir mengelilingi sebagian sisi luar
bagian mesjid. Berada di sebagian sisi
Selatan. dan bagian belakang (timur). Terbuat dari kayu belian dan kayu mabang.
Terdapat juga pagar serambi setinggi kurang lebih 60-80cm. dengan pintu dorong yang
terdiri dari dua bagian.
Untuk masuk kedalam ruang utama mesjid terdapat dua
buah Pintu. Yang pertama, sisi sebelah Selatan (kiri) yang mengarah langsung ke
gg ramadhan. Pintunya berukuran 1 x2,5 m. terbuat dari kayu, berwarna putih
dengan list hijau. Terdapat tiga bagian kaca
di pintu sebelah ini. Di atasnya terdapat tulisan MESJID BAITUL MAKMUR
PONTIANAK. dengan dasar berwarna hijau tua. Tulisan berwarna emas. Sedang pada pintu disisi
Timur, kurang lebih berukuran sama dengan pintu di sisi selatan. Hanya saja, pada
sisi ini tidak terdapat bagian kaca.
Di
ruang utama mesjid, keseluruhan lantai ditutupi dengan hamparan sajadah. Pilar-pilar
masjid ini terdiri dari kayu belian, yang kini dilapisi dengan keramik dengan
warna gelap. Dinding-dinding interiornya juga terbuat dari kayu belian. Dan
pada beberapa bagian juga dilapisi keramik putih. Untuk Plafon atau
langit-langitnya dicat berwarna kuning gading.
Di
bagian depan, terdapat sebuah mimbar sebagai tempat khatib menyampaikan
khotbah. Disebelah kanan mighrab terdapat ruangan kecil yang diperuntukkan
menyimpan barang-barang keperluan mesjid. Ada pula rak buku tempat menyimpan
mushaf di salah satu sisi masjid.
Mengingat
letaknya di tepian dekat dengan Sungai Kapuas, dari jendela masjid, kita bisa
menyaksikan lalu lintas perahu atau kapal motor yang kebetulan melintas.
Jendelanya pun dibuat dengan ukuran yang besar. Sekitar 1,5 x 1m. Tentunya
sebagai bagian dari ventilasi udara agar di dalam ruangan mesjid tetap berasa
sejuk.
Sebagai
mesjid kedua tertua yang ada di kota Pontianak. Bentuk, cerita, dan sejarah
Mesjid Baitul Makmur, tentu telah menjadi bagian yang tak mungkin terpisahkan
dari sejarah kota ini. Untuk itu sudah sepatutnya ia di jaga. Bukan hanya
menjaga bangunannya saja. Namun juga menjaga sejarah yang menyertainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar